Jembatan apa yang dibutuhkan, diantara cita-cita yang menjulang
dan kemampuan yang pas-pasan?
oleh M Anis Matta
Ada perasaan sia-sia yang menjalar perlahan di hati seorang dosen. Malam itu semua usahanya meyakinkan para mahasiswanya tentang keunggulan ekonomi Islam gugur berkeping-keping, hanya karena sebuah pertanyaan sederhana seorang mahasiswa.Rasanya semua energi intelektualnya sudah dikerahkan. Rasanya semua energi intelektualnya sudah dikerahkan. Enam belas kali pertemuan dalam satu semester. Menurut dosen yang juga aktivis itu, jumlah tersebut cukup guna membangun keyakinan kokoh di benak para mahasiswa tentang keunggulan sistem ekonomi Islam di atas semua sistem lainnya. Ia meyakinkan mereka dengan membuat perbandingan ideologi dan sistem yang sangat rasional-objektif antara Islam dengan kapitalis dan komunis; perbandingan bisnis antara konsep bank tanpa riba dan bank konvensional; analisa komprehensif tentang kegagalan pembangunan di dunia Islam; syarat-syarat yang diperlukan demi meningkatkan kesejahteraan ummat dan memajukan perekonomian mereka. Begitu seterusnya. Mahasiswa-mahasiswanya antusias. Sampai pertanyaan sederhana itu muncul. “Apakah ada
sebuah negara yang telah menerapkan sistem ekonomi Islam, dan mencapai tingkat kemakmuran yang dijanjikan sistem itu seperti yang bapak ceritakan, sehingga kita dapat menjadikannya model pengembangan ekonomi bangsa kita ke depan?” tanya mahasiswa itu enteng, dan sedikit lugu.
Sederhana memang. Tapi itulah “lubang besar” yang menganga dalam cara kita mengkomunikasikan Islam kepada masyarakat. Sementara kita menjelaskan keunggulan ideologi dan sistem yang abstrak, mereka mengharapkan contoh aplikasi yang sukses dalam kehidupan nyata. Sementara kita membanggakan keunggulan di dunia maya spiritual, tapi mereka hanya terpesona kepada yang unggul di dunia empiris. Sementara kita menjelaskan kehebatan Islam di masa lalu, mereka menyaksikan keterpurukan kita saat ini.
Sementara kita menjelaskan kebenaran-kebenaran Islam, mereka justeru menantikan kekuatan-kekuatan kaum Muslimin. Sementara kita menjelaskan teori, mereka memahami teori lebih baik melalui contoh kasus.
Cermin realitas
Kebanyakan orang belajar secara visual, tapi kita berkomunikasi secara abstrak. Ini hanya contoh kecil, sangat sederhana, tapi memadai untuk menjelaskan mengapa gerakan da’wah belum mampu menembus pusaran logika massa, apalagi melakukan penetrasi pada jaringan-jaringan pemikiran, sosial dan politik untuk kemudian mengubah, memobilisasi dan mengendalikan mereka.
Di tingkat opini publik, Islam dan gerakan da’wah dengan mudah “diisolasi” tanpa pembelaan spontanitas dari masyarakat. Masyarakat juga belum begitu percaya dengan kemampuan gerakan da’wah beserta para pemimpinnya untuk mengelola negara. Secara keseluruhannya, Islam dan gerakan da’wah belum memegang peran-peran kunci dalam pembentukan kesadaran publik. Padahal itu semua merupakan kondisi-kondisi pendahuluan yang mutlak ada dalam perjalanan kita menuju kekuasaan.
Rendahnya tingkat penerimaan publik dan kapasitas serta citra kita sebenarnya merupakan realitas-realitas yang berakar pada cara kita berpikir. Tidak ada realitas kita yang tidak berakar pada pikiran kita. Pikiran adalah cermin besar yang memantulkan seluruh potret realitas kita secara apa adanya. Pikiran adalah ruang kemungkinan (space of possibility), dan realitas adalah ruang tindakan yang telah jadi nyata (space of action). Seluruh realitas kita hanya bergerak pada ruang kemungkinan itu. Makin besar ruang kemungkinannya, makin besar ruang realitasnya. Bagaimana kita berpikir, begitulah kita akan bertindak. Jadi jauh sebelum sebuah realitas tercipta di alam kenyataan, ia terlebih dulu tercipta di alam pikiran kita. Sebaliknya, apa yang tidak pernah kita pikirkan tidak akan pernah jadi realitas di masa mendatang. Maka realitas-realitas kita hari ini sesungguhnya merupakan buah dari benih-benih pikiran yang telah kita tanam bertahun-tahun yang lalu. Dan seterusnya.
Realitas-realitas kita di masa mendatang adalah buah dari benih-benih pikiran yang kita taman hari ini. Konflik dengan penguasa, misalnya. Ini realitas yang mewarnai pola hubungan antara gerakan da’wah dengan penguasa selama ini. Realitas ini berakar pada persepsi gerakan da’wah tentang penguasa sebagai kumpulan para thaghut. Begitu persepsi ini menguasai pikiran kita, sense of war langsung menyalakan alarm perang ketika kita berhadapan dengan penguasa.
Misalnya lagi, fenomena esklusivitas para aktivis di tengah masyarakat. Fenomena ini berakar pada persepsi, bahwa masyarakat kita saat ini hidup dalam kubangan jahiliyah modern. Begitu seseorang berubah menjadi aktivis da’wah, segera saja ia merasakan superioritas spiritual dan moral, dan menemukan tembok pemisah antara dirinya dengan masyarakat. Ambil contoh lain lagi. Dana. Keterbatasan dana adalah ironi besar yang membatasi ruang gerak da’wah kita. Uang adalah sarana pendukung yang tidak pernah mengisi atau bahkan tak punya tempat dalam ruang pikiran kita selama ini. Kalau toh kita memikirkannya, itu hanya sambil lalu. Pikiran kita selalu terfokus pada bagaimana mensiasati keterbatasan. Bukan pada bagaimana menciptakan kemelimpahan. Karena yang kita pikirkan adalah bagaimana mensiasati keterbatasan, maka selamanya keterbatasan menjadi realitas kita. Kemelimpahan tidak pernah jadi nyata, karena kita memang tidak memikirkannya.
Menggeser pusat perhatian
Sekarang sepakatlah kita, bahwa tindakan-tindakan kita muncul sebagai buah dari benih pikiran-pikiran kita. Realitas da’wah juga begitu. Pikiran-pikiran yang berkembang di lingkungan para du’aat lah yang menciptakannya. Jadi pikiran adalah pusat kekuatan yang mengendalikan tindakan-tindakan dan menciptakan realitas-realitas kita. Jika sistem kendali tindakan dan realitas kita ada pada pikiran-pikiran kita, hanya ada satu jalan memperbaiki realitas-realitas kita, yaitu mengubah pikiran-pikiran kita. Sudah saatnya gerakan da’wah memikirkan kembali caranya berpikir, memikirkan kembali apa yang selama kita pikirkan dan mengapa kita memikirkannya serta mengapa kita memikirkannya dengan cara begitu.
Generasi pertama pertama para pemikir da’wah, seperti Al-Banna, Al-Maududi, Sayyid Quthub dan lainnya, memfokuskan perhatian pada pembangunan ideologi. Generasi kedua, seperti Muhammad Al-Gazali, Yusuf Al-Qardhawi, Fathi Yakan, dan lainnya memfokuskan perhatiannya pada pembangunan kerangka pemikiran pergerakan. Ketika gerakan da’wah memasuki era keterbukaan, bermetamorfosis menjadi institusi terbuka, bermain di domain publik, memasuki pusat-pusat kekuasaan, persoalan terbesar kita adalah sumberdaya.
Inilah persoalan yang dihadapi gerakan-gerakan da’wah di berbagai negara Islam seperti Sudan, Yaman, Aljazair, Turki, Mesir, Indonesia dan lainnya. Di semua kawasan ini gerakan da’wah mengalami persoalan tersebut secara fundamental: beban kerja yang muncul akibat perluasan wilayah aksi da’wah tidak seimbang dengan sumberdaya yang dimiliki gerakan-gerakan da’wah tersebut. Animo besar masyarakat terhadap Islam akibat kegagalan pembangunan di akhir dekade 80-an memang pada mulanya menghasilkan kemenangan-kemenangan politik di awal 90-an, seperti FIS di Aljazair atau Refah di Turki. Tapi itu tidak lama. Situasi segera berubah.
Tantangan-tantangan yang menghadang kita melampaui sumberdaya yang kita miliki. Dengan menggunakan cermin realitas seperti diatas, persoalan sumberdaya ini muncul karena pusat perhatian pikiran kita belum bergeser dari tema besar generasi pertama dan generasi kedua para pemikir da’wah. Kita masih bicara ideologi dan belum bicara sumberdaya. Kita masih bicara sistem pemerintahan Islam dan belum bicara kompetensi kepemimpinan umat. Kita masih bicara slogan “Islam adalah solusi” dan belum bicara agenda aksi penyelesaian persoalan bangsa. Kita masih bicara kegagalan musuh, dan belum bicara kesuksesan-kesuksesan kita. Kita masih bicara ghazwul fikri, dan belum bicara strategi kebudayaan.
Kita masih bicara konspirasi asing, dan belum bicara sistem pertahanan da’wah. Kita masih bicara fiqhul ikhtilaf, dan belum bicara manajemen organisasi. Kita masih bicara sabar dalam mensiasati keterbatasan dana, dan belum bicara cara menciptakan kemelimpahan dana. Kita masih bicara apa yang kita inginkan, dan belum bicara sumberdaya yang diperlukan untuk mencapainya.
Selama pusat perhatian pikiran kita belum bergeser ke masalah penciptaan sumberdaya-sumberdaya, selama itu kita akan mengalami kemunduran dan keterpurukan. Ini hanya konsekuensi ketidakseimbangan antara beban dan daya pikul. Kita akan tampak tua dan lelah, berjalan tertatih-tatih memikul beban obsesi khilafah yang terasa semakin jauh. Para pendiri dan ideolog gerakan da’wah telah meletakkan dasar-dasar ideologi yang kokoh bagi kebangkitan ummat. Mereka merampungkan tugas mereka dengan sempurna. Para pemikir pergerakan–-berikutnya-- juga telah membangun kerangka pemikiran pergerakan bagi pertumbuhan gerakan da’wah menuju kematangan. Mereka juga telah menunaikan tugas mereka dengan sempurna. Kini tiba saatnya bagi generasi ketiga –generasi kita-- untuk membawa bendera, menunaikan tugas sejarah mereka: generasi pencipta sumberdaya. Biarlah di tangan mereka kebenaran menjadi nyata di muka bumi karena menyatu dengan kekuatan.*
Read More......