Perwakilan Rakyat Memalukan!!!

Perwakilan Rakyat Memalukan!!

Oleh Ferdian*

Jakarta, 12 Februari 2007, Ribuan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang tergabung dalam ADEKSI, Asosiasi DPRD Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia men"demo" gedung MPR/DPR. Kehadiran para anggota dewan dari seluruh Indonesia tidak diduga-duga, pasalnya mereka megkonfirmasi kedatangan dengan jumlah hanya 100 orang. Kedatangan mereka ke gedung yang mempunyai julukan Gedung Kura-Kura, ingin menemui ketua DPR Agung Laksono untuk membatalkan revisi terhadap PP 37/2006 yang sampai sekarang masih bermasalah.

Kejadian dengan jumlah yang membludak, seperti halnya mahasiswa ketika berdemonstrasi, membuat keamanan dalam Gedung MPR/DPR bertindak tegas. Sikap yang penuh emosi bak memperjuangkan turunnya harga bahan pokok atawa BBM diperlihatkan oleh mereka. Bahkan setelah masuk ke ruang rapat paripurna, mereka sempat marah-marah dan berteriak-teriak tidak terima diperlakukan semena-mena.

"Kami tidak ingin diperlakukan seperti anjing. Kami datang ke sini baik-baik dengan kepala dingin," teriak anggota DPRD yang datang dari Toli-Toli, Kendari, Semarang, Riau dan sebagainya itu. [1]

Mungkin mereka tidak pernah menyadari, tuli ataupun bisu. Diperlakukannya mereka seperti itu adalah sama dengan ketika mahasiswa maupun rakyat berdemonstrasi menuntut hak-haknya dipenuhi. Mereka baru tahu bahwa perlakuan seperti Anjing pernah juga dirasakan oleh rakyat yang memohon kepada mereka untuk hanya sesuap nasi. Mereka baru saja merasakan tamparan yang masih lebih sopan dibanding perlakuaan sombong mereka (anggota dewan) yang mengatakan kepada para demonstran "demonstrasi, kaya ga ada kerjaan aja".

Benar-benar memalukan, diri yang tiada lagi berharga. Ketika rakyat berada ditengah kegamangan antara makan dan tidak hari esok, jerit tangis rakyat kecil yang memohon susu untuk anak balitanya, dilingkungan terik panas menembus gelandangan kota yang berada dipersimpangan jalan, dan diantara nurani para penguasa negeri yang telah mati terpatri, tindakan memuakkan diperlihatkan oleh mereka yang dahulu dipilih rakyat untuk memperjuangkan hak-hak tertindas.

Kini mereka meniru cara rakyat untuk menuntut. Tapi apa boleh dibanggakan kalo tuntutan itu untuk kepentingan pribadi mereka. Mereka menuntut untuk membatalkan revisi PP 37/2006 yang menurut mereka legal secara juridis. Bicara legalitas, adalah wewenang sistem yang telah dibuat untuk ditaati. PP 37/2006 adalah produk pemerintah. Produk undang-undang yang dapat legal dengan kerjasama rapih antara pemerintah sebagai eksekutif dan DPR/DPRD sebagai legislatif. Sandiwara konyol yang mudah sekali terbaca. Mereka bukan artis tapi seringkali ber-acting. Mereka bukan wayang namun seringkali digerakkan oleh para dalang.

Kekonyolan sikap yang membuat rakyat senantiasa bertanya, "Apakah ini orang yang kemarin saya pilih untuk memperjuangkan hak-hak saya?"

Kejadian memalukan itu, sekali lagi, menempatkan mereka semua menjadi kasta baru dalam sosiologi kemasyarakatan. Kasta Neo-Kolonial. Penjajah baru dari negeri sendiri. Indonesia pun akan kebanjiran aktor-aktor pengganti Jim Carrey di Hollywood. Aktor konyol. Sungguh sangat memalukan. Bahkan, kalau rakyat mau, rame-rame saja ber-demonstrasi bareng mereka dengan tuntutan yang hampir sama TOLAK REVISI PP 37/2006.


*) Presiden Mahasiswa BEM STT Telkom 2006/2007





Read More......

Jenis Mahasiswa

Ada beberapa istilah lagi nih untuk mahasiswa kampus STT Telkom, simak aja:

Istilah ini mengingatkan saya dengan fenomena tempo doeloe...and sepertinya fenomena ini msh berlanjut sampai sekarang. Adanya mahasiswa yang aktivitasnya kura-kura(kuliah rapat-kuliah rapat), atawa ngga mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang-kuliah pulang)

Mahasiswa kura-kura tidak lain adalah mereka para organisatoris kampus. saking jadi "kura-kura"nya ada yg sampe-sampe ruang sekretariat organisasi dijadiin kos-kosan, atau ada organisasi yg dijulukin organisasi rapat, habis program kerjaanya 4L( Lapat lagi lapat lagi) he...he...mulai dari rapat ditjen, rapat departemen, rapat koordinasi, sampe rapat kayaknya sehari bisa 3x rapat (kayak minum obat aja).

Mahasiswa laba-laba..siapa lg tuh?
mereka dijuluki laba-laba karena kerjaannya LABA-LABA (Lab aja -Lab aja) alias jd asisten lab. tp gak semua kok asisten masuk kategori mahasiswa laba-laba. yang masuk kategori ya mereka yg terlalu lab mania, "kos'nya di lab & sering bolos kuliah dengan alasan lg ngasistenin praktikan.


Haha..
ini hanyalah sekedar potret kehidupan mahasiswa dikampus dengan segala dinamikanya.. mumpung baru masuk kuliah.

Semoga semester ini lebih baik dari semester lalu. Hayo jangan malas kuliah!!! :D

Read More......

Mengubah Paradigma Cara Berfikir

Jembatan apa yang dibutuhkan, diantara cita-cita yang menjulang
dan kemampuan yang pas-pasan?

oleh M Anis Matta

Ada perasaan sia-sia yang menjalar perlahan di hati seorang dosen. Malam itu semua usahanya meyakinkan para mahasiswanya tentang keunggulan ekonomi Islam gugur berkeping-keping, hanya karena sebuah pertanyaan sederhana seorang mahasiswa.
Rasanya semua energi intelektualnya sudah dikerahkan. Rasanya semua energi intelektualnya sudah dikerahkan. Enam belas kali pertemuan dalam satu semester. Menurut dosen yang juga aktivis itu, jumlah tersebut cukup guna membangun keyakinan kokoh di benak para mahasiswa tentang keunggulan sistem ekonomi Islam di atas semua sistem lainnya.

Ia meyakinkan mereka dengan membuat perbandingan ideologi dan sistem yang sangat rasional-objektif antara Islam dengan kapitalis dan komunis; perbandingan bisnis antara konsep bank tanpa riba dan bank konvensional; analisa komprehensif tentang kegagalan pembangunan di dunia Islam; syarat-syarat yang diperlukan demi meningkatkan kesejahteraan ummat dan memajukan perekonomian mereka. Begitu seterusnya. Mahasiswa-mahasiswanya antusias. Sampai pertanyaan sederhana itu muncul. “Apakah ada
sebuah negara yang telah menerapkan sistem ekonomi Islam, dan mencapai tingkat kemakmuran yang dijanjikan sistem itu seperti yang bapak ceritakan, sehingga kita dapat menjadikannya model pengembangan ekonomi bangsa kita ke depan?” tanya mahasiswa itu enteng, dan sedikit lugu.

Sederhana memang. Tapi itulah “lubang besar” yang menganga dalam cara kita mengkomunikasikan Islam kepada masyarakat. Sementara kita menjelaskan keunggulan ideologi dan sistem yang abstrak, mereka mengharapkan contoh aplikasi yang sukses dalam kehidupan nyata. Sementara kita membanggakan keunggulan di dunia maya spiritual, tapi mereka hanya terpesona kepada yang unggul di dunia empiris. Sementara kita menjelaskan kehebatan Islam di masa lalu, mereka menyaksikan keterpurukan kita saat ini.
Sementara kita menjelaskan kebenaran-kebenaran Islam, mereka justeru menantikan kekuatan-kekuatan kaum Muslimin. Sementara kita menjelaskan teori, mereka memahami teori lebih baik melalui contoh kasus.

Cermin realitas
Kebanyakan orang belajar secara visual, tapi kita berkomunikasi secara abstrak. Ini hanya contoh kecil, sangat sederhana, tapi memadai untuk menjelaskan mengapa gerakan da’wah belum mampu menembus pusaran logika massa, apalagi melakukan penetrasi pada jaringan-jaringan pemikiran, sosial dan politik untuk kemudian mengubah, memobilisasi dan mengendalikan mereka.

Di tingkat opini publik, Islam dan gerakan da’wah dengan mudah “diisolasi” tanpa pembelaan spontanitas dari masyarakat. Masyarakat juga belum begitu percaya dengan kemampuan gerakan da’wah beserta para pemimpinnya untuk mengelola negara. Secara keseluruhannya, Islam dan gerakan da’wah belum memegang peran-peran kunci dalam pembentukan kesadaran publik. Padahal itu semua merupakan kondisi-kondisi pendahuluan yang mutlak ada dalam perjalanan kita menuju kekuasaan.

Rendahnya tingkat penerimaan publik dan kapasitas serta citra kita sebenarnya merupakan realitas-realitas yang berakar pada cara kita berpikir. Tidak ada realitas kita yang tidak berakar pada pikiran kita. Pikiran adalah cermin besar yang memantulkan seluruh potret realitas kita secara apa adanya. Pikiran adalah ruang kemungkinan (space of possibility), dan realitas adalah ruang tindakan yang telah jadi nyata (space of action). Seluruh realitas kita hanya bergerak pada ruang kemungkinan itu. Makin besar ruang kemungkinannya, makin besar ruang realitasnya. Bagaimana kita berpikir, begitulah kita akan bertindak. Jadi jauh sebelum sebuah realitas tercipta di alam kenyataan, ia terlebih dulu tercipta di alam pikiran kita. Sebaliknya, apa yang tidak pernah kita pikirkan tidak akan pernah jadi realitas di masa mendatang. Maka realitas-realitas kita hari ini sesungguhnya merupakan buah dari benih-benih pikiran yang telah kita tanam bertahun-tahun yang lalu. Dan seterusnya.

Realitas-realitas kita di masa mendatang adalah buah dari benih-benih pikiran yang kita taman hari ini. Konflik dengan penguasa, misalnya. Ini realitas yang mewarnai pola hubungan antara gerakan da’wah dengan penguasa selama ini. Realitas ini berakar pada persepsi gerakan da’wah tentang penguasa sebagai kumpulan para thaghut. Begitu persepsi ini menguasai pikiran kita, sense of war langsung menyalakan alarm perang ketika kita berhadapan dengan penguasa.

Misalnya lagi, fenomena esklusivitas para aktivis di tengah masyarakat. Fenomena ini berakar pada persepsi, bahwa masyarakat kita saat ini hidup dalam kubangan jahiliyah modern. Begitu seseorang berubah menjadi aktivis da’wah, segera saja ia merasakan superioritas spiritual dan moral, dan menemukan tembok pemisah antara dirinya dengan masyarakat. Ambil contoh lain lagi. Dana. Keterbatasan dana adalah ironi besar yang membatasi ruang gerak da’wah kita. Uang adalah sarana pendukung yang tidak pernah mengisi atau bahkan tak punya tempat dalam ruang pikiran kita selama ini. Kalau toh kita memikirkannya, itu hanya sambil lalu. Pikiran kita selalu terfokus pada bagaimana mensiasati keterbatasan. Bukan pada bagaimana menciptakan kemelimpahan. Karena yang kita pikirkan adalah bagaimana mensiasati keterbatasan, maka selamanya keterbatasan menjadi realitas kita. Kemelimpahan tidak pernah jadi nyata, karena kita memang tidak memikirkannya.


Menggeser pusat perhatian
Sekarang sepakatlah kita, bahwa tindakan-tindakan kita muncul sebagai buah dari benih pikiran-pikiran kita. Realitas da’wah juga begitu. Pikiran-pikiran yang berkembang di lingkungan para du’aat lah yang menciptakannya. Jadi pikiran adalah pusat kekuatan yang mengendalikan tindakan-tindakan dan menciptakan realitas-realitas kita. Jika sistem kendali tindakan dan realitas kita ada pada pikiran-pikiran kita, hanya ada satu jalan memperbaiki realitas-realitas kita, yaitu mengubah pikiran-pikiran kita. Sudah saatnya gerakan da’wah memikirkan kembali caranya berpikir, memikirkan kembali apa yang selama kita pikirkan dan mengapa kita memikirkannya serta mengapa kita memikirkannya dengan cara begitu.
Generasi pertama pertama para pemikir da’wah, seperti Al-Banna, Al-Maududi, Sayyid Quthub dan lainnya, memfokuskan perhatian pada pembangunan ideologi. Generasi kedua, seperti Muhammad Al-Gazali, Yusuf Al-Qardhawi, Fathi Yakan, dan lainnya memfokuskan perhatiannya pada pembangunan kerangka pemikiran pergerakan. Ketika gerakan da’wah memasuki era keterbukaan, bermetamorfosis menjadi institusi terbuka, bermain di domain publik, memasuki pusat-pusat kekuasaan, persoalan terbesar kita adalah sumberdaya.

Inilah persoalan yang dihadapi gerakan-gerakan da’wah di berbagai negara Islam seperti Sudan, Yaman, Aljazair, Turki, Mesir, Indonesia dan lainnya. Di semua kawasan ini gerakan da’wah mengalami persoalan tersebut secara fundamental: beban kerja yang muncul akibat perluasan wilayah aksi da’wah tidak seimbang dengan sumberdaya yang dimiliki gerakan-gerakan da’wah tersebut. Animo besar masyarakat terhadap Islam akibat kegagalan pembangunan di akhir dekade 80-an memang pada mulanya menghasilkan kemenangan-kemenangan politik di awal 90-an, seperti FIS di Aljazair atau Refah di Turki. Tapi itu tidak lama. Situasi segera berubah.

Tantangan-tantangan yang menghadang kita melampaui sumberdaya yang kita miliki. Dengan menggunakan cermin realitas seperti diatas, persoalan sumberdaya ini muncul karena pusat perhatian pikiran kita belum bergeser dari tema besar generasi pertama dan generasi kedua para pemikir da’wah. Kita masih bicara ideologi dan belum bicara sumberdaya. Kita masih bicara sistem pemerintahan Islam dan belum bicara kompetensi kepemimpinan umat. Kita masih bicara slogan “Islam adalah solusi” dan belum bicara agenda aksi penyelesaian persoalan bangsa. Kita masih bicara kegagalan musuh, dan belum bicara kesuksesan-kesuksesan kita. Kita masih bicara ghazwul fikri, dan belum bicara strategi kebudayaan.
Kita masih bicara konspirasi asing, dan belum bicara sistem pertahanan da’wah. Kita masih bicara fiqhul ikhtilaf, dan belum bicara manajemen organisasi. Kita masih bicara sabar dalam mensiasati keterbatasan dana, dan belum bicara cara menciptakan kemelimpahan dana. Kita masih bicara apa yang kita inginkan, dan belum bicara sumberdaya yang diperlukan untuk mencapainya.

Selama pusat perhatian pikiran kita belum bergeser ke masalah penciptaan sumberdaya-sumberdaya, selama itu kita akan mengalami kemunduran dan keterpurukan. Ini hanya konsekuensi ketidakseimbangan antara beban dan daya pikul. Kita akan tampak tua dan lelah, berjalan tertatih-tatih memikul beban obsesi khilafah yang terasa semakin jauh. Para pendiri dan ideolog gerakan da’wah telah meletakkan dasar-dasar ideologi yang kokoh bagi kebangkitan ummat. Mereka merampungkan tugas mereka dengan sempurna. Para pemikir pergerakan–-berikutnya-- juga telah membangun kerangka pemikiran pergerakan bagi pertumbuhan gerakan da’wah menuju kematangan. Mereka juga telah menunaikan tugas mereka dengan sempurna. Kini tiba saatnya bagi generasi ketiga –generasi kita-- untuk membawa bendera, menunaikan tugas sejarah mereka: generasi pencipta sumberdaya. Biarlah di tangan mereka kebenaran menjadi nyata di muka bumi karena menyatu dengan kekuatan.*

Read More......

Sehat setiap Saat @ STT Telkom


Tahun 2007, menjadi tahun untuk kita berbuat lebih baik. Lebih baik untuk diri sendiri, untuk keluarga dan untuk lingkungan masyarakat sekitar. Adalah menjadi tanggung jawab bersama saat kita berada dilingkungan yang bisa memberikan bantu lebih dibandingkan dengan saat sendirian.

Wilayah Kampus STT Telkom merupakan pertemuan wilayah pedalaman perkampungan dan sisi pinggiran perkotaan . Daerah kampus yang berada di kecamatan dayeuh kolot dengan sejarah pahlawan patriotik terkenal, Muhammad Toha. Suasana lingkungan kampus yang asri dengan tumbuhan hijau yang merindang, memeluk kampus telekomunikasi dengan eratnya. Hawa pagi kampus ini benar-benar merusuk ke dalam tubuh jika dihirup dalam-dalam. Kesegaran terasa pagi hari, sesaat setelah berolahraga, kucuran keringat yang menetes membasahai tubuh dan baju cepat sekali menguap diterpa angin pagi yang menyejukkan. Kadang, disuatu waktu, kabut putih pun menyelimuti kampus. Biasanya waktu musim penghujan.

Mahasiswa kampus STT Telkom terlalu biasa menyaksikan gunung-gunung terhampar. Seakan-akan melingkari kampus. Bak lembah yang merendah diantara bukit-bukit yang tinggi menjulang dan luas melebar. Dengan kenyamanan lingkungan yang lebih dari cukup, sudah seharusnya menjadi pemicu bagi para civitasnya untuk memanfaatkan sumber daya alam ini. Implikasi dari kemaksimalan pemanfaatan akan terlihat jelas. Tidak berpikir terlalu melebar, namun berfokus pada satu kalimat tunggal, sehat. Ya, kondisi lingkungan yang sedemikian baiknya seharusnya menjadikan index rata-rata orang sakit diwilayah ini turun.

Realita saat ini yang memasuki pangsa pasar global, dengan kebutuhan kualitatif lebih layak diperhitungkan dibandingkan kuantitatif pada kasus-kasus tertentu, maka perlu sebuah bingkai yang menjadikan kampus ini lebih dapat memanfaatkan kondisi yang ada.

Bulan maret, seiring dengan maraknya kegiatan kampus, Badan Eksekutif Mahasiswa melihat peluang untuk dapat mencetuskan ide ini ke khalayak kampus. Menjadikan kampus ini mempunyai arahan strategis adalah tanggung jawab bersama sesuai dengan peran posisinya masing-masing. Menjadikan kampus ini memiliki idealisme sehat juga kesempurnaan yang tak ternilai harganya. Kesehatan adalah investasi terbesar. Investasi masa depan dan jangka panjang. Tanpa kesehatan, semua tujuan hidup tidak akan tercapai dengan baik. Sehat memang bukan segala-segalanya, tetapi tanpa kesehatan segalanya bukan apa-apa.

Sedikit mengintip pada program SBY yang mencanangkan Indonesia sehat 2010, agaknya kampus ini dapat mengarah pada tujuan tersebut. STT Telkom sehat 20xx. Hal ini bukanlah isapan jempol tanpa ada latar belakang yang jelas. Keprihatinan pihak institusi terhadap keluhan perusahaan yang ''curhat'' atas alumnus STT Telkom menjadi bahan pemikiran mendalam. Untuk skill dan kompetensi, alumnus STT Telkom sudah tidak diragukan lagi kehebatannya. Namun sangat disayangkan, kondisi kesehatan yang bisa jadi sehat tetapi tidak bugar adalah sorotan utamanya. Memang saat ini tidak bisa saling menyalahkan, mahasiswa kah, atau institusi kah yang salah?

Meluangkan waktu sejenak untuk berpikir tentang kesehatan tampaknya saat ini sulit dilakukan, terutama bagi yang memiliki ritme kesibukan tinggi. Padahal berpikir tentang kesehatan seperti berpikir positif adalah sangat bermanfaat.

Oleh karenanya, diperlukan sebuah paradigma berpikir baru tentang kesehatan. Diperlukan sebuah sistem rapi dan apik yang menjaga kekonsistenan dan komitmen untuk sehat. Dan, akhirnya kesehatan bukanlah impian yang timbul saat sakit, tetapi cita-cita yang selalu dipupuk agar selalu subur saat sehat.

Dan nikmat Tuhan mu manakah yang kamu dustakan?




Read More......
Template by : Kendhin x-template.blogspot.com